Kalau dilihat dari data diatas, angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya. Lalu dimanakah letak cinta yang menjadi alasan menikah? apakah cinta berdurasi? atau mungkinkah salah memilih pasangan?.
Merujuk dari buku Deny Hen, The Great Marriage, memaparkan bahwa sebaik apapun hubungan diawal pernikahan, tidak menjamin hal tersebut menjadi patokan untuk kelanggengan pernikahan. Umumnya bulan madu pernikahan dapat dinikmati sekitar satu sampai tiga tahun saja.
Setelah itu, tanpa pengetahuan yang cukup mengenai pernikahan yang sehat serta usaha untuk mempertahankannya, pasangan sering terjebak dalam loveless marriage (pernikahan tanpa cinta) atau sering disebut dengan empty love (cinta yang kosong).
Deny Hen menuliskan bahwa setidaknya ada 3 hal yang menyebabkan cinta padam dan hubungan semakin dingin seiring bertambahnya usia pernikahan, yaitu:
1. Problem dengan cinta romantis.
Cinta romantis atau passionate love adalah rasa kecenderungan / rasa suka, perasaan tertarik yang kuat kepada seseorang. didasari oleh perasaan, dan perasaan mudah sekali berubah. Dr. Fred Nour dalam bukunya True Love; How To Use Science To Understand Love, memaparkan bahawa cinta romantis hanya berlangsung sampai dua/tiga tahun saja. Dalam pernikahan, passionate love tidak bertahan lama dan harus segera di transformasikan menjadi cinta yang lebih realistis (true love).
2. Kelahiran si sulung.
Prof. James C. Dobson, seorang profesor dan psikolog dari Amerika memaparkan bahwa hubungan pasangan suami istri mencapai titik balik saat anak sulung lahir. Ketika anak sudah remaja, hubungan mereka sulit untuk kembali seperti dulu.
Kelahiran anak akan menjadi salah satu penyebab jika tidak bisa membagi waktu dan mengontrol emosi dengan baik. Istri yang sudah menjadi ibu akan disibukkan dengan urusan anak selama 24 jam, urusan rumah, urusan pekerjaannya dan besar kemungkinan berkurang waktu dan perhatian tidak sepenuhnya lagi hanya pada suaminya.
Disaat yang sama, seorang suami yang sudah menjadi ayah akan bertambah tanggungannya. Secara moral dan materi. Ia disibukkan dengan pekerjaan yang sudah memasuki tahap penting, disibukkan dengan perhatian kepada anak, memerhatikan dirinya sendiri dan kemungkinan waktu dan perhatian akan berkurang pada istrinya.
Baca juga: Menuju Halal; Provokasi atau Edukasi
Akibatnya keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Waktu bersama berkurang, emosi merenggang dan mulai mencari pelarian. Mencari pelarian melalui hobi, mengurus anak, di luar rumah dan bahkan bisa sampai menimbulkan bibit-bibit perselingkuhan.
Menurut Deny Hen, hal-hal seperti ini harusnya dibicarakan dan dipikirkan sebelum melangkah untuk menikah. Supaya ketika menghadapinya, sudah memiliki gambaran dan ilmu.
3. Tekanan hidup sehari-hari.
Rumah seharusnya menjadi tempat untuk pulang dan melepas penat. Rumah harusnya menciptakan suasana aman dan nyaman untuk mengisi kembali daya yang sudah habis setelah bekerja. Pada nyatanya rumah pun bisa menjadi sumber stress. Entah karena masalah anak, pasangan, antar menantu dan mertua, ekonomi, semua berpotensi untuk membuat suasana dirumah panas, sehingga suami dan istri saling merasa tidak dicintai.
3 hal diatas akan di perparah dengan kurangnya informasi dan pendidikan pernikahan yang sehat dan rasa enggan mencari bantuan.
Dari ketiga hal diatas, sudah menggambarkan bagaimana dinamika yang ada dalam kehidupan pernikahan. Jangan sampai kita hanya fokus pada persiapan pesta pernikahan impian tapi begitu sepele dengan persiapan untuk menghadapi hari-hari, bulan-bulan, bahkan tahun-tahun setelah pesta itu berlalu. Jadi, mulai mempersiapkan ilmu dan mental untuk menghadapinya. dengan membaca buku, mengikuti kelas pra-nikah, kelas manajemen emosi atau pengembangan diri, dan belajar apa saja yang mendukung untuk menjadi bekal di masa depan.
siklus hormon kalau lagi jatuh cinta |
Referensi:
Hen, Deny, (2018). The Great Marriage. Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama.