Setelah melewati banyak hal tidak terduga di 2020, awal tahun 2021 saya mempersiapkan diri untuk mencapai beberapa cita-cita yang tertunda. Mulai dari mengikuti kelas menulis, mengikuti persiapan pelatihan pengembangan diri, dan lagi-lagi menyelesaikan revisi tugas akhir yang sudah sangat ingin benar-benar saya akhiri.
Januari menjadi penuh tantangan dan kegiatan, tidak jarang pusing dan lelah sendiri dibuatnya. Saya mulai mengalami burn out di satu minggu terakhir, merasa lelah dengan semua kegiatan dan rutinitas dan mulai sulit berbahagia.
Akhirnya saya mengambil jeda selama satu hari untuk tidak memikirkan dan berurusan dengan semua kegiatan yang biasanya saya jalani. Gawai pun saya matikan, saya pergi ke Rumah Berdikari.
Mungkin teman-teman yang tinggal di Jogja dan gemar membaca serta membeli buku, sudah tidak asing lagi dengan Rumah Berdikari. Sebuah toko buku yang juga menyediakan kafe dan perpustakaan.
Rumah Berdikari juga memiliki toko buku online, @berdikaribook namanya user instagramnya.
Baca juga : [Review] Laluna Resort, Penginapan Unik Bergaya Interior Ala Gypsi
Ini bukan kali pertama saya berkunjung ke Rumah Berdikari, emm mungkin sudah ketiga atau keempat kalinya. Seperti biasa, saya selalu tersenyum tepat memasuki halaman rumah berdikari. Seolah di sambut riang oleh buku buku yang menunggu saya baca.
Ya, kunjungan kali ini bukan untuk membeli buku, tetapi menikmati buku-buku yang tersedia di perpustakaan Rumah Berdikari.
Saya mulai berjalan berkeliling perpustakaan, melihat dengan lekat setiap buku yang terpajang sambil sesekali bergumam jika saya menyentuh buku yang sudah saya baca. Setelah dua kali keliling, akhirnya saya meraih buku Rupi Kaur, Milk and Honey.
Saya pun mulai menyiapkan tempat duduk yang nyaman dan mulai membuka buku tersebut dan menghayati setiap kata yang tertulis di dalamnya.
Menikmati buku Rupi Kaur membawa saya ke ingatan masa lalu dan beberapa kejadian yang pernah membuat saya meragukan diri saya sendiri. Melalui buku itu, saya perlahan diingatkan kembali tentang arti dari setiap kejadian yang sudah berlalu dalam hidup saya.
Mungkin kalian juga sudah pernah ya, membaca buku Rupi Kaur, Milk and Honey ini.
Setelah membaca buku Rupi Kaur, saya beralih ke Madgeo, karya Agus Mulyadi. Madgeo berisi kumpulan tulisan dari rubrik Mojok tentang hewan dan nabati. Jadi, Mojok pernah membuat rubrik, ya sebagai selinganlah, tentang hewan dan tumbuhan.
Rubrik tersebut diisi oleh tulisan tulisan Mas Agus, yang konon ketika mengenyam bangku SMA pernah bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian.
Isi buku tersebut seputar pengetahuan tentang hewan dan tumbuhan tetapi ditulis ala tulisan Mas Agus. Kalau kalian pernah membaca karya Mas Agus, tentu sudah terbayang kan bagaimana bentuk dari tulisan tersebut. Tetap membuat ngakak.
Setelah membaca Madgeo, saya merasa haus dan membeli minuman yang saya lupa namanya apa, tapi isinya yakult, susu, dan potongan jeruk. Segar. Oh ya, namanya Good Vibes.
Ditemani Good Vibes, saya kemudian membaca buku karya Puthut EA yang berjudul Buku Catatan Untuk Calon Penulis. Mulanya saya kira buku itu memuat tips menumbuhkan ide untuk tulisan, bagaimana memulai menulis sebuah buku, daaaann pertanyaan-pertanyaan khas pelatihan menulis lainnya.
Ternyata tidak, teman-teman. Justru buku itu hadir karena penulisnya sudah bosan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas. Jadi buku ini lebih tepat disebut sebagai teman bagi siapa pun yang ingin menjadi penulis.
Catatan-catatan yang di buat Kepala Suku Mojok dalam buku itu mengingatkan calon penulis tentang hal hal sederhana yang terjadi dalam hidup dengan sangat bisa dijadikan bahan tulisan, dan kata kata penguat lainnya.
Tidak terasa saya sudah membaca tiga buku, dan saya tertarik dengan satu buku terbitan Mojok, yaitu Woe Man Relationship, karya Audian Laili. Buku ini membahas tentang perempuan dan hubungan yang dimilikinya. Sebagai manusia, tentu kita memiliki sebuah hubungan.
Entah hubungan pertemanan, romansa, anak-orang tua dan hubungan lainnya. Dalam hubungan tersebut, posisi perempuan sering terkesan ribet. Bisa jadi hal tersebut dibentuk oleh budaya dan akhirnya menjadi pola pikir kita.
Buku ini banyak membuka pikiran kuno, menjadi lebih cerah dan tidak menyulitkan kita sebagai perempuan. Misalnya, ketika memilih istri, laki laki memilih perempuan yang mau diajak makan di pinggir jalan. Itu adalah perempuan yang istri- able.
Mau diajak susah. Saya sudah sangat sering mendengar narasi ini, apakah itu benar. Ya tentu tidak. Nah dibuku ini banyak dibahas pemikiran pemikiran asumsi tentang perempuan dan hubungannya. Sepertinya seru jika dibahas dalam tulisan tersendiri, hahaha.
Setelah selesai membaca keempat buku tersebut, saya merasa agak tenang. Perlahan kekacauan dan kelelahan pikiran saya terobati. Maka menjelang magrib saya putuskan untuk pulang.
Saya pulang dengan hati yang gembira, seperti baru mendapatkan penemuan hebat dunia, dengan hati yang buncah, saya menyusuri jalanan stadion, melewati lapangan yang tampaknya akan digelar pasar malam, dan akhirnya melaju hingga sampai rumah.
Buku sejak dulu selalu menjadi tempat saya untuk membuang lelah yang paling terjangkau. Saya juga nggak tahu kenapa begitu. Biasanya sebagian orang kalau sedang kisruh tidak akan mendekati buku, kalau saya justru buku itu sendiri obatnya.
Entah bagaimana, buku yang saya baca saat saya sedang kisruh itu adalah bahasan yang sangat saya perlukan saat itu. Saya seperti mendapat nasihat langsung, atau pikiran baru yang meluruskan pikiran sesat saya sebelumnya. Itulah mengapa saya bisa menjadi sangat senang setelah mencari jawaban dari buku.
Jadi, nggak papa kok lepas dari rutinitas biasanya barang sehari. Membuat jeda terkadang bisa membuat kita lebih waras dan siap dengan tantangan selanjutnya. Kalau kalian sedang burn out, kalian ngapain? Berbagi cerita ya. Heheh.