Gagal dan Arti Belajar.


Adalah gagal yang kusebut belajar. Sebelumnya setiap usaha yang belum menyentuh harapan, kusebut gagal. Setiap percobaan yang belum berhasil, kuucapkan pada diri sendiri, kamu gagal. Hingga kata gagal memenuhi kepala, membatasi ruang gerak dan menjadi bahaya ketika karena hal tersebut membuatku berhenti mencoba. Ketakutan ketakutan irasional memenuhi kepala dan tentunya memberi rasa nyeri di dada. Kenapa aku begini? adalah kata yang sering kulontarkan di depan kaca, melihat diriku sendiri. Nanar dan penuh benci.

Suatu ketika, dalam kenikmatan membaca buku Sudjiwo Tedjo, kudapati kalimat yang menampar habis pikiran irasionalku, mengikis perlahan rasa takutku. katanya, gagal adalah cara manusia memaknai kehendak Nya yang bukan kehendaknya. kurenungi kata kata penulis buku Tali Jiwo itu. Benar. Terkadang aku memaksa kehendakku, yang mungkin bukan kehendak Nya. Yang lebih parahnya lagi aku memaksa Nya untuk mengizinkan kehendakku. Hingga ketika hal tersebut memberi efek buruk, aku kembali bertanya pada Nya, "Tuhan, Engkau tidak sayang aku, ya?." Bisa dan sangat mungkin untuk Nya menjitak kepalaku saat itu juga. Tapi yang kukenal, Tuhanku amat sangat penyayang. 

Terkadang aku suka lupa apa yang kupanjatkan dalam doa, hingga ketika Tuhan ingin menyetujuinya, lalu Ia memantaskanku untuk layak menerima hal tersebut, tapi aku malah marah-marah, mengeluhkan kenapa tidak langsung diberi saja. Sungguh hamba yang membingungkan. Hingga kuseruput kopi pagi ini dan aku menertawakan diri sendiri. Buru-buru minta maaf sudah berburuk sangka, dan menyadari menjadi layak itu penting sekali. coba bayangkan, kumiliki semua yang kuminta, tapi secara kemampuan aku tidak layak menggenggamnya, bisa-bisa dia hanya menjadi bahagia yang semu, kepemilikan yang semu, bahkan lebih mengerikan ketika semua itu menghancurkanku. Kesempatan berbanding lurus dengan persiapan, jika kedua ada dalam dirimu, maka kelayakan ada padamu. 

Sekian cerita dari secangkir kopi hari ini. 


0 Comments