Tulisan-tulisan dalam buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tidak Punya pada mulanya merupakan tulisan berseri yang tayang saat Ramadhan di situs web Mojok.co, selama dua tahun.
Pada tulisan ini, Rusdi Mathari membawakan tema agama yang dibalut dengan kisah humor. Penulis membawakan kisah di buku ini dengan sangat ringan, mudah dipahami, sesuai dengan kejadian di era saat ini, dan dibalut dengan bumbu humor. Tidak heran mengapa tulisan berseri ini digemari pembaca dan sudah dibaca lebih dari setengah juta pemirsa Mojok.co.
Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tidak Punya berisikan cerita bertema agama dan fenomenanya yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Jika dilihat dari sampul depannya yang teranyar ini, tampak seorang laki-laki menggunakan celana tanggung, sarung yang diselempangkan dan peci di atas mukanya.
Kisah Cak Dlahom
Buku ini mengisahkan tentang sufi asal Madura, Cak Dlahom namanya. Cak Dlahom merupakan seorang duda miskin dan pengangguran yang tinggal di dekat kandang kambing Pak Lurah. Masyarakat Desa Ndusel menganggapnya gila dan bodoh. Tetapi tidak dengan Mat Piti dan putrinya Romlah.
Mati Piti adalah seorang warga terpandang di Desa Ndusel. Mat Piti memiliki seorang anak perempuan bernama Romlah. Mat Piti kerap sabar dengan tingkah Cak Dlahom dan sering menanyakan alasan-alasan di balik perbuatan aneh dan konyolnya itu.
Romlah, putri Mat Piti juga sangat perhatian dengan Cak Dlahom. Cak Dlahom sendiri sering membuat kekacauan di desa Ndusel, namun di balik kekacauan yang diperbuatnya tersimpan alasan yang membuat bengong orang-orang di desanya.
Pandangan yang Ingin Disampaikan Penulis
Rusdi Mathari, penulis buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tidak Punya, menyampaikan tata cara beragama lewat kisah-kisah yang begitu dekat dengan kita. Salah satu cerita yang membuat saya terdiam dan merenunginya adalah cerita ketika Cak Dlahom protes dengan dipasangnya baliho penyambutan bulan suci Ramadhan.
Aksinya tersebut mendapat kecaman warga karena dianggap gila dan tidak bahagia dengan hadirnya bulan mulia tersebut. Cak Dhalom lantas menanyakan tentang benarkan kita sesenang itu ketika Ramadhan tiba dan akan bersedih ketika sudah berlalu?
Membaca buku ini hal pertama yang menjadi renungan bagi saya adalah perihal mengimani Allah dengan sepenuh hati. Sudahkah selama ini beribadah tulus karena Allah atau melainkan karena imbalan yang telah Ia janjikan.
Dari alasan di balik kekacauan yang dilakukan Cak Dlahom, saya jadi kembali menilai ulang kualitas ibadah saya. Terutama dari segi niat. Niat merupakan sebab dan aspek penting yang dipertimbangkan dalam ibadah. Bagaimana jika niat tidak sesuai dengan apa yang seharusnya diniatkan.
Penyampaian Rusdi Mathari dalam kisah ini terkesan tidak menggurui, padahal ia tengah mengkritisi fenomena-fenomena yang sering terjadi dan dekat dengan kehidupan kita. Seperti kisah Zakat dan Sekantong Taek, cerita ini sangat memukul tentang keikhlasan bersedekah.
Seharusnya jika kita ikhlas, maka kita tidak akan mengingat-ingat lagi apa yang sudah kita berikan. Kita sudah melepaskannya bersama dengan niat memberi. Jangan sampai mengingat-ingat pemberian apalagi meniatkan agar mendapatkan imbalan atas pemberian tersebut.
Selain dibukakan pengetahuan tentang ikhlas, saya juga diperanjatkan dengan pesan tentang kualitas sedekah. Di mana terkadang saya masih memikirkan nilai minimal atau standar terkecil untuk mengeluarkan sedekah.
Kubu-Kubu Merasa Paling Benar
Di masyarakat kita, tidak asing lagi dengan kubu-kubu agama. Menganggap kubunya paling benar dan paling penting sudah seperti tugas utama anggotanya. Kejadian tersebut akan bermuara pada saling tuduh menuduh tentang kesesatan dan kerap terjadi perkelahian.
Mungkin, jika kita meluangkan sedikit waktu untuk mempelajari kubu-kubu agama tersebut, mungkin kita akan sampai pada pemahaman dan pemakluman atas perbedaan antara satu kubu dengan kubu lainnya.
Kisah-kisah yang diceritakan Rusdi Mathari begitu halus dan mampu menyentuh pikiran dan hati pembacanya. Disampaikan dengan bahasa dan cerita yang ringan, namun penuh dengan arti dan renungan.
Setelah membaca buku ini, saya jadi termotivasi untuk selalu mindful dalam beragama juga beribadah. Jangan sampai apa yang diucapkan di mulut berbeda dengan tindakan. Seperti kisah pertama dalam buku ini, Cak Dlahom mempertanyakan tentang "
benarkah kita mencintai Ramadhan?" dan "
mengapa kita berpuasa?"
Untuk siapa sebenarnya euforia cinta
Ramadhan itu kita tuju? Pertanyaan Cak Dlahom ini membuat gaduh desanya. Ternyata alasan Cak Dlahom menanyakan itu semua adalah untuk mengingatkan, jika beribadah harus karena Allah dan untuk Allah dan jangan latah dalam beribadah.
Buku ini cocok dibaca di waktu senggang, dan cocok dijadikan teman berdialog dengan diri perihal keyakinan pada Tuhan, keikhlasan dan alasan beribadah. Selamat membaca.
5 Comments
Buku-buku seperi ini tuh menggelitik sekaligus menampar. Lucu, tapi kelucuan itulah realita yang sebenarnya bikin prihatin.
BalasHapusJudulnya unik, membuat bertanya-tanya maksudnya apa. Memang terkadang kita melakukan sesuatu karena sudah menjadi kebiasaan turun-temurun saja. Tanpa ada keinginan untuk mencari tahu maknanya apa.
BalasHapusJujurly ingin baca bukunya mbak heheheee...awalny penasadran dgn judul bukuny knpa gitu jd pgen baca lengkpnya...
BalasHapusBuku dengan judul eye catchy. Isinya pas untuk bahan muhasabah.
BalasHapussepertinya menarik ya kak, tulisan-tulisan di mojok.co memang out of the box sih menurut saya. Mengkritik dengan cara yang menggelitik, apa tulisannya masih tersedia di mojok.co ya?
BalasHapus