Tinggal di Jogja, bukan di tengah kota pula, menjadi hal yang kusyukuri setiap harinya. Tetangga yang dekat, tapi tidak saling mengurusi ranah-ranah privasi menjadi nilai tambah di lingkungan rumahku.
Salah satunya dengan menerapkan mindfulness dan slow living menjadi sebuah gaya hidup menjalani hari-hari.
Apa Itu Slow Living
Mengapa Memilih Slow Living?
Menerapkan slow living sejauh ini memberi banyak manfaat untukku. Terutama di bagian mengurangi stres. Setelah menikah banyak sekali babak baru dalam hidup. Kejutan-kejutan hidup datang berganti dan tiba-tiba.
Masa depan bukan lagi tentang diri sendiri, tetapi sudah menyangkut banyak pihak. Tidak jarang target hidup membuat stres pemiliknya.
Pilihan untuk hidup secara lambat benar-benar membantuku dalam mengurangi stres dan kelelahan karena mengurangi tekanan untuk terus-menerus berlomba dan berada dalam keadaan terburu-buru.
Selain itu, slow living juga memungkinkanku untuk lebih menghargai momen-momen kecil dalam kehidupan, meningkatkan kesadaran diri, dan menciptakan ruang untuk refleksi dan pencapaian tujuan yang lebih bermakna.
Prinsip untuk Menerapkan Gaya Hidup Slow Living
1. Buat Prioritas
Identifikasi apa yang benar-benar penting bagi Anda dalam hidup dan fokuslah pada hal-hal tersebut. Mengurangi kegiatan dan kewajiban yang tidak memberikan kepuasan atau menyebabkan stres yang berlebihan.
2. Menjaga Keseimbangan
Ciptakan waktu untuk istirahat, relaksasi, dan waktu untuk diri sendiri. Hindari kecenderungan untuk terus bekerja atau terlibat dalam aktivitas yang tidak memberikan kebahagiaan.
3. Nikmati Keheningan
Carilah momen untuk menyendiri, bermeditasi, atau hanya menikmati ketenangan. Menenangkan pikiran dan membiarkan diri kita mengalami ketenangan dapat memberikan keseimbangan dan ketenangan dalam hidup.
4. Hargai Proses
Jangan terburu-buru untuk mencapai tujuan. Fokuslah pada perjalanan dan nikmati setiap langkahnya. Ingatlah bahwa kehidupan adalah tentang pengalaman, bukan hanya tentang hasil akhir.
Bagaimana Menerapkan Slow Living dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Kurangi Konsumsi
Praktekkan gaya hidup minimalis dengan mengurangi penggunaan benda-benda yang tidak perlu. Belajarlah untuk menghargai kualitas daripada kuantitas.
2. Bersantap dengan Kesadaran (Mindful Eating)
Nikmati makanan dengan penuh kesadaran. Hindari makan tergesa-gesa atau di depan layar. Alihkan perhatian pada rasa dan tekstur makanan yang Anda makan.
3. Terhubung dengan Alam
Sempatkan waktu untuk berada di alam, menjelajahi lingkungan sekitar, atau melakukan kegiatan di luar ruangan. Alam memiliki kekuatan untuk menenangkan pikiran dan menghubungkan kita dengan kehidupan yang lebih lambat.
Slow living adalah panggilan untuk melambat dan menemukan kedamaian dalam hidup yang sibuk. Dengan mengurangi tekanan, memprioritaskan kebahagiaan, dan menghargai momen-momen kecil, kita dapat menemukan harmoni dan keseimbangan.
Ingatlah, hidup adalah tentang pengalaman, bukan hanya tentang kecepatan.
5 Comments
Bersantap dengan penuh kesadaran kini terasa amat mewah. Banyak orang yang makan di depan layar, sehingga lebih fokus pada apa yang ditonton daripada dimakan. Sayang banget, ya, makanan enak itu tidak ternikmati.
BalasHapusSuka banget konsep slow living...menemukan kedamaian dengan sibuk... Ketenangan dn ketentramaan sangat penting dan jangan lupa bersyukur atas pencapaian yg sudah diperoleh
BalasHapusWahh, menerapkan mindful eating ini yang susah sekali buat aku. Bukannya suka makan sambil lihat layar, kalo aku kasusnya justru kebiasaan makan sambil tergesa-gesa. Jarang bisa menikmati makan dengan kesadaran gitu. Huhu. Mau makan yang slow, tapi kejar2an sama anak...
BalasHapussejak 2 tahun merantau di Jogja, aku merasakan konsep slow living dari orang-orang di sini. ritme kehidupan di Jogja memang santai, nggak grusa-grusu, tapi tetap punya target
BalasHapusAku dari Jawa Timur. Justru ketika aku tinggal di rumah ibu, di kabupaten Lamongan, yang notabenenya pedesaan, aku gak bisa merasakan dan menerapkan slow living ini. Setiap aktivitas dituntut serba cepat. Termasuk mengasuhbanak. Baca buku dibilang buang-buang waktu. Sepertinya karena pengaruh lingkungan juga yang kerap membanding-bandingkan dan mengukur segala sesuatu berdasarkan parameter orang lain. Setelah aku memutuskan ngontrak di Surabaya, baru aku bisa menerapkan itu srmua.
BalasHapus