Tentang Jogja dan Perjalanan Menggapai Sarjana

Tentang Jogja dan Perjalanan Menggapai Sarjana



Belakangan aku suka mengingat momen ketika kuliah dulu. Masih ingat pertama kali menginjakkan kaki di Jogja untuk kuliah. Berkenalan dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. Awalnya aku sempat tidak mau berbicara dan menjadi pendiam. Tau nggak kenapa?.... Karena ada yang sakit hati dengan cara bicaraku. 

Maklum saja, namanya juga baru keluar dari tanah Sumatera dan logat Medan yang masih kental. Kejadian tersebut membuatku pilih-pilih teman. Aku memang berteman dengan siapa saja, namun dengan teman yang kedekatan dan intensitas komunikasinya sering kulakukan tidak jauh-jauh dari orang Medan, Makassar, Kalimantan dan Timur Indonesia. 

Selain bahasa dan logat biara, makanan adalah salah satu culture shock yang amat terasa. Aku tidak pernah memakan soto yang kuah dan nasinya dicampurkan. Tetapi aku harus terbiasa akan hal tersebut. Awal-awal beradaptasi, aku selalu memakan nasi padang. 

Cuma nasi padang yang mengerti kegalauan lidahku saat itu. Perlahan tapi pasti, aku mulai belajar memakan makanan selain nasi padang. Meski memakan waktu yang tidak sebentar, akhirnya lidahku mulai bisa memakan makanan khas Jogja. Mungkin lidahku juga bosan setiap hari selalu mencecap kuah gulai dan ayam sambal. 

Tentang Jogja dan Perjalanan Menggapai Sarjana


Serba Serbi Anak Kos dan Ibu Kos yang Galak

Karena tidak memiliki saudara yang rumahnya bisa dijadikan tempat tinggal, jadilah aku menghuni satu kamar kos di daerah kampusku. Kos yang kuhuni merupakan kos yang terbilang paling bagus di jamannya. 

Awal mula kos di sana tidak ada masalah yang berarti. Penjaga kos yang baik hati dan tidak terlalu mencampuri urusan anak kosnya, terlebih urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kos. Namun keadaan yang serba enak tersebut tidak berlangsung lama. Sang penjaga kos harus pindah. 

Karena kos tidak ada yang menjaga, jadilah pemilik kos yang kutempati rajin berkunjung memantau kosnya. Ibu kosku itu sudah lumayan berumur namun sisa sisa jiwa guru dan mahasiswanya masih melekat dalam dirinya. 

Peraturan mulai banyak. Kami tidak lagi boleh membawa teman ke kos. Bahkan berkunjung pun tidak boleh. Kamarku yang tadinya diisi oleh banyak teman, mendadak sepi. Pernah juga aku dan teman-temanku menyembunyikan tamu kami di dalam tumpukan kasur karena ibu kos sedang datang memeriksa ruangan kamar. 

Hampir saja tamu tersebut pingsan, karena ternyata si ibu kos tidak hanya berkunjung dan memeriksa ruangan, ia juga bercerita panjang tentang dirinya, masa lalunya dan tidak lupa memberikan kami wejangan. Selama cerita tersebut disampaikan ibu kos, yang aku pikirkan adalah keadaan tamu kami di tumpukan kasur. Untung saja dia baik-baik saja. 

Kegalakan ibu kos semakin menjadi jadi dan akhirnya kami semua pindah dari kos tersebut. Agak sedih sih meninggalkan kamar pertama. Tempat pertama membangun mimpi dan menenangkan diri. 

Tentang Jogja dan Perjalanan Menggapai Sarjana



Kegiatan Relawan yang Melembutkan Hati

Kegiatan belajarku diselingi dengan kegiatan relawan. Aku lupa kenapa tergerak untuk mencari kumpulan relawan yang ada di Jogja. Yang jelas, setiap tahun ajaran baru, aku selalu memasuki satu klub relawan. 

Pernah menjadi relawan kepada anak-anak di pinggir kali, anak anak jalanan, hingga relawan bagi anak-anak yang mengalami penyakit serius namun terbatas untuk berobat. Banyak hal yang kupelajari dari kegiatan tersebut. Terutama tentang rasa syukur akan segala nikmat yang sudah kurasakan.

Rumah Sakit Sardjito menjadi kunjungan rutinku setiap hari Selasa. Di sana aku akan mendampingi orang tua binaan komunitas yang ingin mengobatkan anaknya. Terkadang ada datang dari daerah-daerah di pulau Jawa, tapi tidak jarang juga mereka datang dari seberang pulau.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak itu menghabiskan masa kecilnya, masa bermain  dan sekolahnya di atas tempat tidur rumah sakit sambil menunggu suntikan demi suntikan. 

Drama Skripsi dan Benci Acara Wisuda

Aku menghabiskan masa kuliah cukup lama, mentok sampai 13 semester. Itu sebabnya jika ada yang berani menanyaku dengan pertanyaan "Sudah semester berapa sekarang," maka aku akan menjawab. "Aku lagi semester pendalaman."

Kendala skripsi bermula dari nilai ujian salah satu mata kuliah yang kuambil tidak kunjung keluar. Entah lulus, atau mengulang aku tidak pernah tahu. Sudah berulang kali kuurus kepada pihak Program Studi, hasilnya tetap nihil. 

Akhirnya aku mengulang kembali mata kuliah tersebut dan bisa dipastikan semua jadwal seminar dan sidangku menunggak karena kelas tersebut. Masa-masa menunggu seminar proposal kuhabiskan dengan mengulang mata kuliah yang tersebut sambil mencari ilmu dan pengalaman di luar. 

Aku mulai rajin mengikuti seminar dan pelatihan pengembangan diri. Perlahan lingkar pertemananku berubah dan aku selalu membenci acara wisuda di kampusku. Kalau kalian tanya kenapa, sudah jelas karena aku bukan salah satu wisudawan yang akan diwisuda, hahahah. 

Perlahan kebencian itu hilang, aku sudah menikmati semua proses skripsi dan pengembangan diriku. Baik di bagian senangnya, maupun di bagian getir susahnya. Toh semua sudah terjadi, jadi ya nikmati saja. 

Akhirnya aku menyelesaikan drama per-skripsi-an itu pada tahun 2021, tepat dua minggu sebelum aku menikah. 

Tentang Jogja dan Perjalanan Menggapai Sarjana


Menjadi Kenangan

Perjalanan membangun mimpi di tanah rantau selalu menjadi cerita menarik. Nostalgia dengan kenangan dan tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama teman-teman, bahkan ruas-ruas jalan yang menyaksikan kesedihan atau perjuangan. 

Hambatan dan kesulitan yang kuhadapi selama merantau terkadang berguna menjadi pengingat, kalau sebelum kesulitan saat ini, aku pernah menghadapi kesulitan yang serupa dan berhasil lolos darinya. 

Terima kasih sudah membaca, silakan berbagi cerita perantauan kalian di kolom komentar ya. See You. 

0 Comments